Seorang ulama memlihara seekor burung Beo. Seperti kebanyakan
orang, ulama ini pun mengajari Beo untuk berbicara. Kata yang diajarkan pada
Beo adalah kata-kata tasbih, tahmid, tahlil, dan kata-kata dzikir lainnya. Kemudian,
Beo pun mampu mengucapkan kata-kata yang di ajarkan sang ulama.
Ulama semakin menyukainya. Setiap hari diberi makan dan
dimandikan. Hingga pada satu hari, ulama tersebut lupa menutup pintu kandang
burung setelah memberinya makan. Beo pun
terbang keluar dari kandang. Naas bagi beo, seekor kucing menerkam dan memakan
Beo. Sang ulama bersedih dan menangis.
Melihat ulama sedih, murid-murid berunding untuk mengirim
utusan bertemu dengan ulama untuk menghibur ulama.
Utusan berangkat menemui sang ulama.
“Ya, syeikh … . Kami melihat kesedihan yang begitu mendalam
atas kematian Beo. Jika engkau menghendaki, kami akan mencari ganti dengan
beo-beo lain yang lebih fasih dari itu.” Ucap santri yang menjadi utusan.
Mendengar ucapan muridnya, ulama meneteskan air mata.
“Ketahuilah nak, aku tidak bersedih atas kematian beo. Yang kusedihkan
adalah akhir kehidupannya. Bertahun aku mengajarkan ia mengucapkan tahmid,
tahlil, takbir. Tapi, diakhir hidupnya yang keluar dari mulut Beo bukan
kata-kata itu, tapi yang keluar adalah kata ‘keok’.” Kata ulama
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar