Minggu, 10 April 2016

Amsal

Oleh: KH. Rahmat Abdullah


Ketika anak-anak bangsa tak lagi mampu memahami sindir sampir, petatah-petitih atau kias metafor, maka kiamat bangsa itu sudah di ambang pintu. Tentu saja tidak dimaksud dengan kiamat itu kehancuran fisik, melainkan kiamat nilai-nilai mulia yang selama ini mereka hayati. Mereka telah hidup dalam dimensi-dimensi kebendaan yang pekat, dominan dan refleks. Al Qur'an melancarkan seruan-seruannya, dengan sebagiannya berbentuk amsal. "Itulah amsal-amsal (perumpamaan), Kami ajukan dan tiada kan memahaminya kecuali orang-orang yang alim."( QS. 29:43).

Kalau saja para koruptor itu punya kulit wajah yang cukup tipis dan urat yang cukup lembut untuk memahami sindiran halus, niscaya mereka akan malu merampok kekayaan bangsa. Akan tetapi sayang sejuta kali sayang, kondisi mereka telah sampai pada apa yang diungkapkan seorang da'i yang dianggap keras, muka tembok urat badak, sehingga tak cukup sensitif terhadap penderitaan rakyat.

Sindiran-sindiran itu sudah terlalu vulgar bila ditampilkan dalam bentuk orasi, demonstrasi, pembacaan puisi, lagu-lagu kritik sosial atau pun lakon-lakon.Renungan tentang alam yang santun dan dunia hewan yang tahu batas. Harimau dan singa yang dikenal buas, tak pernah menumpuk buruan untuk beberapa hari ke depan, apalagi untuk beberapa keturunan.


Semut yang dikenal rajin, terorganisir dan berdisiplin tinggi, memang selalu mengumpulkan makanan untuk jangka waktu yang lebih panjang dari usia mereka. Tetapi itu dilakukan sebagai pemenuhan cadangan nasional, bukan kerakusan pribadi. Cukup dengan bercermin pada alam manusia dapat selamat, tetapi "Betapa banyaknya tanda-tanda Allah di langit dan di bumi yang mereka lalui, namun mereka tetap berpaling. Tiadalah kebanyakan mereka beriman, melainkan juga (dengan) melakukan
kemusyrikan.
" (QS. 12: 105-106) 












 =====
Sumber:

http://kpkcorner.blogspot.co.id/2012/01/amsal.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar