Oleh: Salim A Fillah
JIKA beliau ﷺ bicara tentang insan yang amat
dicintainya, “Dia di neraka”, dapatkah sejenak kita bayangkan apa yang
dirasanya saat kalimat itu bergema?
Jika suatu kali Al Musthafa ﷺ yang memang tak diizinkan
berdusta harus mengatakan pada seorang sahabat yang bersedih, “Ayahku dan
Ayahmu di neraka”, untuk menunjukkan tenggangrasa terdalam dari jiwanya yang
lembut, dapatkah kita sejenak menempatkan hati ini ke dalam dada beliau ﷺ?
Dan jika perbedaan pendapat para ‘ulama tentang siapa yang
dimaksud “Ayah” dalam hadits itu kita jadikan sebagai sumber perpecahan padahal
beliau ﷺ berharap dapat menyambut dan menghulurkan minum pada semua ummat di
telaganya, apa kiranya yang akan beliau ﷺ katakan?
Kumohon, hentikan.
Dengan penuh cinta Imam An Nawawi dan para ‘ulama lain telah
mengajukan hujjahnya . Jika benar bahwa kedua orangtua Rasulillah ﷺ di dalam
neraka, maka bukankah yang benar tak selalu harus diungkit senantiasa?
Bukankah Abu Dzar benar ketika memanggil Bilal, “Hai anak
budak hitam!”? Tapi bukankah dia ditegur Sang Nabi ﷺ dengan tudingan ke wajah,
“Kau, dalam dirimu masih terdapat jahiliah?” Dan
Abu Dzarpun menyungkur ke
tanah, menaburkan pasir ke wajah, serta meminta Bilal menginjak kepalanya, yang
tentu ditolak oleh si kebanggaan Habasyah.
Sebagaimana pula dengan penuh ta’zhim Imam As Suyuthi telah
berpanjang menjelaskan masa fatrah dan kedudukan surgawi Ayah-Bunda Rasulillah ﷺ.
Dan bahwa sebagaimana Azar ternyata adalah Paman Ibrahim, tak dapat tempatkah
ta’wil bahwa “Ayah'” di dalam hadits itu adalah orang yang membesarkan Al
Musthafa sejak dia ditinggal Kakeknya, yang memanggilnya “Anakku” dan lebih
mencintai beliau dibanding putra-putra kandungnya, yang melindunginya dengan
segala punya?
Kumohon hentikan. Di kala hujjah sudah bertemu hujjah,
sesungguhnya hujat tiada lagi mendapat tempat. Perbedaan ini jangan menghalangi
kita dari ilmu, ‘ulama, dan mencintai guru-guru.
Apalagi ini tentang Ayah-Ibu Kekasihku.
Bukan, bukan karena engkau berpegang pada sesuatu yang benar
lalu engkau tercela. Sebab memang yang benar lebih berhak untuk dihiasi akhlaq
mulia. Izinkan aku sejenak mengajakmu berkaca, kepada para salafush shalih
dalam menakar cinta.
“Sungguh keislamanmu wahai Paman Rasulillah ﷺ”, ujar ‘Umar
kepada ‘Abbas ibn ‘Abdil Muthalib saat mereka bersua menjelang Fathu Makkah,
“Lebih aku cintai dari keislaman Al Khaththab ayahku.”
Ini bukan karena cintanya pada sang Ayah kurang; ini semata
sebab ‘Umar mengukur sikapnya dari hati manusia yang paling dicintainya,
Muhammad ﷺ. ‘Abbas adalah Paman yang paling mengasihi Rasulullah setelah Abu
Thalib.
“Wahai Ayahanda”, ujar ‘Abdullah ibn ‘Umar kepada bapaknya
kelak, “Mengapa bagian Usamah ibn Zaid kautetapkan lebih banyak daripada bagian
Ananda, padahal kami berjihad bersama di berbagai kesempatan?”
“Karena”, ujar Sayyidina ‘Umar sembari tersenyum sendu,
“Ayah Usamah, Zaid ibn Haritsah, lebih dicintai Rasulullah ﷺ daripada Ayahmu.”
Lagi-lagi ‘Umar mengukur sikapnya dari hati yang paling dia muliakan, hati
Muhammad ﷺ.
Di kala Rasulullah ﷺ memasuki Makkah dan Masjidil Haram, Abu
Bakr datang menuntun ayahnya kepada beliau. Ketika Sang Nabi ﷺ melihat Abu
Quhafah yang sepuh lagi telah buta, beliau bersabda, ‘Ya Aba Bakr, kenapa
engkau tidak silakan ayahmu duduk di rumah dan aku sajalah yang datang pada
beliau?’
“Ya Rasulallah”, jawab Ash Shiddiq, “Ayahku lebih berhak
berjalan kepadamu daripada engkau datang kepadanya’. Rasulullah ﷺ mendudukkan
Abu Quhafah di depan beliau, mengusap dadanya, dan bersabda kepada-nya, ‘Masuk
Islamlah’. Abu Quhafah pun masuk Islam.
Tepat di saat Abu Quhafah menghulurkan tangan untuk berjanji
setia pada Rasulillah ﷺ, Abu Bakr malah menangis. Sesenggukan sedunya hingga
mengguncang bahu. Semua yang hadir bertanya-tanya. Bukankah di hari itu, Abu
Bakr harusnya berbahagia menyaksikan keislaman ayahnya? Bukankah suatu
kesyukuran besar menyaksikan orang yang kita kasihi dibuka hatinya oleh Allah
untuk menerima hidayah?
Namun Ash Shiddiq yang agung berkata pada Sang Nabi ﷺ, “Demi
Allah. Aku lebih suka jika tangan Pamanmu ya Rasulallah, menggantikan
tangannya, lalu dia masuk Islam dan dengan begitu Allah membuatmu ridha.”
Paman yang dimaksud tentulah Abu Thalib. Dia yang telah
memberikan seluruh daya upaya di sisa usianya untuk membela dakwah keponakan
tersayangnya, namun hidayah tak menjadi haknya. Betapa mengerti Abu Bakr akan
isi dada Rasulillah ﷺ. Sahabat sejati, selalu mengukur sikapnya dari hati sang
kekasih.
Lalu kini, jika kita menyebut-nyebut dengan santainya
tentang neraka atau surgakah orang yang disayanginya, tak hendakkah kita
sejenak bertanya, “Di mana kita dari Adab Abu Bakr dan ‘Umar itu dalam menakar
cinta?”
Mari belajar menghadirkan sudut pandang Rasulillah ﷺ, bukan
hanya pengetahuan tapi juga rasa; dalam setiap isi dada, kata-kata, dan
perilaku kita. Inilah jalan sunnah yang penuh cinta.*
diambil di FB: Salim A Fillah dan Twitter: @salimafillah
=====
Copas
http://www.hidayatullah.com/kolom/salam-dari-salim/read/2016/08/05/98866/ayah-dan-ibu-kekasihku.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar