Selasa, 17 Mei 2016

Fenomena Kebangkrutan Bangsa

Hasil gambar untuk rahmat abdullah

Oleh: KH. Rahmat Abdullah

Banyak orang mengandalkan nisbah diri dengan nama besar satu organisasi atau jama'ah, berbangga dengan kepemimpinan tokoh perubahan sejarah. Namun sayang mereka tidak pernah merasa defisit apapun padahal sama sekali tidak meneladani keutamaan tersebut: "Barangsiapa lambat amalnya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya."

Sekarang, segelintir elit (mala) di masyarakat muslim, bukan lagi membanggakan diri dengan nisbah Islam dan masa lalu umat. Mereka justeru telah menampakkan dengan terbuka kebanggaannya menjauh dari orisinalitas (aslahah) Islam. Berapa banyak mayoritas awam yang menolak syariah Islam? Mungkin nol, yang ribut cuma elit dan agen fasad. Karenanya bukanlah kerja produktif bila fokus agenda islah hanya ditujukan kepada kekuasaan dan kekokohan rezim, terlebih bila rezim itu sendiri sudah memasui kriteria rojim. Perubahan yang dituju islah Islami ialah perubahan kultural, tanpa mengabaikan faktor kekuasaan, karena memang sangat jelas daya hancurnya bila ia jatuh ke dalam tangan-tangan kotor.

Tak ada yang lebih mulia dan memenuhi tahapan-tahapan islah yang benar, kecuali bila setiap kader memikirkan peningkatan dirinya, kemudian keluarga dan masyarakatnya. Kezaliman di masyarakat telah terjadi dan terus menerus selalu akan terjadi bila umat tak berdaya dan membiarkan kezaliman atas diri mereka. Bila prjurit semacam Ribl bin Amir telah tampil begitu meyakinkan di hadapan Hirqal (Hercules) dan rasulullah membiarkan keterusterangan seorang Badui daripada rakyat ketakutan menuntut haknya, maka maknanya kerja dakwah harus mengarah kepada pembebasan dan pemberdayaan semua elemen umat.

Siapa yang bertanggung jawab atas larinya triliunan dana bangsa muslim yang miskin ini, hanya karena mereka rendah diri lalu berfikir makanan junk food dengan iklan menyesatkan itu baik untuk mereka? Siapa yang bertanggung jawab atas bangkrutnya usaha mereka sendiri, karena iklim ta'awun tidak tumbuh dan sikap saling percaya  tak ada lagi. Akibatnya alih-alih dari tumbuhnya usaha syarikat umat mereka 'terpaksa' pergi ke bank-bank riba, untuk meminjam atau menabung. Maka jadi semakin ekstrimlah seruan pembelaan dan solidaritas umat dari seorang Al-Banna, imam dakwah di telinga manusia modern yang tak kunjung memetik apapun dari obsesi-obsesi kosong mereka; "Perhatikan benar perekonomian bangsamu. Jangan konsumsi dan memakai kecuali produk negeri muslimmu."



=====
Disalin dari buku Warisan Sang Murabbi (Tarbawi Press, 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar